Ketika Raja Hutan Tunduk Kepada Tuan Kebun

Masa keemasan kayu di Indonesia dimulai ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan pada 24 Mei 1967. Sejak saat itu, Menteri yang diserahi urusan kehutanan layaknya Raja Hutan. Sang Menteri punya kekuasaan untuk menyatakan hutan sebagai Hutan Negara atau Hutan Milik. 

Sang Menteri juga memiliki kewenangan untuk menetapkan Hutan Negara sebagai Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Suaka Alam, dan Hutan Wisata. Selain itu, Sang Menteri mempunyai otoritas untuk menetapkan Kawasan Hutan, baik wilayah berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap, maupun wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap. Tidak kurang dari wilayah seluas 143 juta hektar ditetapkan sebagai kawasan hutan. Jutaan meter kubik kayu diangkut keluar dari kawasan hutan. 

Setelah 32 tahun hutan dieksploitasi secara besar-besaran, kondisinya berubah sangat drastis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan jaman, sehingga perlu diganti. Kemudian pada 30 September 1999 disahkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di mana dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Meski demikian pemerintah bisa mengubah peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Akan tetapi perubahan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, pada 22 Januari 2010 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Dalam Peraturan Pemerintah ini, Hutan Tetap didefinisikan sebagai kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap.

Perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial maupun untuk wilayah provinsi. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan atau pelepasan kawasan hutan.

Tukan menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Tukar menukar kawasan hutan dilakukan dengan ketentuan tetap menjamin luas kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional. Bila kawasan hutan kurang dari 30% dari DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, tukar menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan rasio paling sendikit 1:2, kecuali tukar menukar kawasan hutan untuk menampung korban bencana alam dan untuk kepentingan umum.

Pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30%, kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan.

Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi dapat dilakukan pada hutan konservasi, hutan lindung, atau hutan produksi. Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi dilakukan berdasarkan usulan Gubernur kepada Menteri. Usulan perubahan kawasan hutan untuk wilayah provinsi diintegrasikan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).

Atas usulan Gubernur, Menteri melakukan telaahan teknis. Berdasarkan hasil telaahan teknis, Menteri membentuk Tim Terpadu untuk melakukan penelitian. Bila hasil penelitian menemukan bahwa usulan perubahan peruntukan kawasan hutan berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan, wajib melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Selanjutnya Menteri menyampaikan hasil penelitian Tim Terpadu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapak kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. Perubahan fungsi kawasan hutan dilakukan pada hutan dengan fungsi pokok konservasi, lindung, dan produksi. Perubahan fungsi kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial maupun untuk wilayah provinsi. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat dilakukan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30%.

Meskipun tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sudah sangat jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, namun fakta di lapangan masih terjadi pelanggaran.  Banyak areal perkebunan kelapa sawit yang berada dalam kawasan hutan. Usaha perkebunan kelapa sawit dikatagorikan sebagai kegiatan budidaya non kehutanan, sehingga diharamkan berada di dalam kawasan hutan. Sebelum kebun kelapa sawit dibangun, pengusaha wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan hanya pada hutan produksi yang dapat dikonversi kepada Menteri Kehutanan.

Untuk mengakomodir keberadaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, pada 25 Agustus 2011 Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan Nomor: P.62/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman berbagai Jenis Pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Jenis tanaman tahunan berkayu yang kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan baku industri dalam pembangunan hutan tanaman berbagai jenis antara lain karet, kelapa, dan/atau sawit. IUPHHK-HTI kayu karet, kayu kelapa, dan/atau kayu sawit ini didasarkan pada izin usaha perkebunan yang telah diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota.

Terang saja kebijakan ini menuai reaksi dari para rimbawan dan kalangan aktivis lingkungan hidup. Akibat tekanan yang begitu keras, akhirnya Menteri Kehutanan mencabut peraturan yang dibuatnya itu. Namun masa tenang tidak berlangsung lama, pada 6 Juli 2012 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Dalam peraturan ini, pemerintah menyisipkan pasal baru, yakni Pasal 51A yang berbunyi: Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan RTRWP atau RTRWK yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri.

Selanjutnya, pada Pasal 51B disebutkan: Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan RTRWP atau RTRWK yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan kepada Menteri.

Peraturan Pemerintah ini adalah bukti takluk si Raja Hutan kepada Tuan Kebun. Menteri Kehutanan, mau tidak mau harus melepaskan kawasan hutan untuk usaha perkebunan yang sudah terlanjur berada di dalam kawasan hutan. Tinggal kita berhitung seberapa luas kawasan hutan yang harus dilepas sebagai konsekuensi dari kebijakan ini? @jwaluyo

Tentang

fasilitator pemberdayaan masyarakat desa

Tagged with: ,
Ditulis dalam Pemikiran
1 comments on “Ketika Raja Hutan Tunduk Kepada Tuan Kebun
  1. […] Sumber: Ketika Raja Hutan Tunduk Kepada Tuan Kebun […]

Tinggalkan komentar